ASKEP ASMA BRONKIAL
1.
Definisi Asma
Asma
adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil
yang mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit
inflamasi (peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah
dan meradang. Asma sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma.
Namun demikian, tidak semua penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua
orang yang mempunyai alergi menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada
penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit
bernapas. Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu
dinding saluran napas membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang
rusak menutupi sebagian saluran napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin
menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas mengencang tetapi semuanya dapat
dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat. Selama terjadi serangan
asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih buruk,
ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh
berkurang sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
2.
Klasifikasi Asma
Berkaitan
dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan bronkokonstriksi,
beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut banyak
dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a) Asma
Ekstrinsik
Asma ekstrinsik
adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi
penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh
apa-apa terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan
keturunan”. Setiap orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi
tubuhnya terhadap serangan dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi
antibodi.
Pada saat datang
serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan menghimpun
antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam proses
mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah
naiknya temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul
bercak-bercak, jaringan-jaringan tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya
(Hadibroto & Alam, 2006).
b) Asma
Intrinsik
Asma intrinsik
tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca,
kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan
menurunnya kondisi ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat
kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang
paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah
terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30
tahun (Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting
dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks, sehingga
tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang
diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama
dideteksi ada pada satu orang.
Sebagai contoh,
dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat
menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya
faktor-faktor kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya
naluriah pada saat seseorang harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa
cemas dan panik ini meneruskan lingkaran setan dan memperparah gejala serangan.
Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan (pengganggu) dari luar seperti
asap rokok dan hairspray akan
memperparah kondisi penderita. Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial
(termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula,
seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh
menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat
kelemahan bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi
tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
(Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten,
yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang
terjadi, berarti faal (fungsi) paru masih baik.
2. Persisten
ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali
dalam seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur.
Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan. Semua ini membuat faal paru
realatif menurun.
3. Persisten
sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan
serangan sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala
asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1 kali
dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten
berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan
sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal
paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma
berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam, 2006):
1. Asma
akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak,
gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi
ringan, APE (Arus Puncak Aspirasi)
kurang dari 80%.
2. Serangan
asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk
kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
3. Serangan
asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat
terputus-putus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat
bernapas, APE kurang dari 50%.
3.
Etiologi
Menurut
The Lung Association of Canada, ada
dua faktor yang menjadi pencetus asma (Hadibroto & Alam, 2006):
1. Pemicu
(trigger) yang mengakibatkan
mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Umumnya
pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari
seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan
yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan). Selain itu polusi udara dari luar dan dalam ruang serta asap
rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga memicu terjadinya serangan
asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi saluran
pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma.
Penderita asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan
emosi/stres dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Selain itu, jangan berolahraga secara
berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu dapat menyebabkan
udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas.
Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price,
2007).
2. Penyebab
(inducer) yang mengakibatkan
peradangan (inflammation) pada
saluran pernapasan. Umumnya penyebab (inducer)
asma adalah alergen, yang tampil
dalam bentuk ingestan dimana alergen masuk ke tubuh melalui mulut
(dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan. Selain itu, bisa juga dalam
bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut.
Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman,
pohon, tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu
kontak langsung dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa
faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma
dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat
asma atau alergi lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat
diwariskan-diturunkan dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga
berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat mempengaruhi perkembangan
asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang berkembangnya asma pada
anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang orangtuanya tidak
menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan dengan
penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko
terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif
semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau infeksi virus dan terpapar iritan di
tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada
terjadinya serangan asma (Ayres, 2003).
Aspek-aspek
potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek
genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.
4.
Patofisiologi
Berkaitan
dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan bronkokonstriksi,
beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan asma
intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan
dijabarkan masing-masing dari patofisiologinya.
a) Asma
Ekstrinsik
Pada
asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang
tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi
sangat rumit. Penderita yang telah disensitisasi terhadap satu bentuk alergen
yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen yang dihirup itu.
Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada
basofil yang kita kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang
terdapat pada permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast
tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan
konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh lain ialah
prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2
adrenergik. Bila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka
pelepasan histamin akan terhalang.
Pada
mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya
eosinofil dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil
di dalam sputum tidak diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam
butir-butir granula eosinofil terdapat enzim yang menghancurkan histamin dan
prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan terhadap serangan asma.
Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi
(Herdinsibuae dkk, 2005).
b) Asma
Intrinsik
Terjadinya
asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus
yang akan merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk
dan sekresi lendir melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian
hipersensitifnya sehingga langsung menimbulkan refleks konstriksi bronkus.
Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat menolong kasus-kasus seperti
ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan sehingga pada kasus-kasus
berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total, sehingga
berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya
kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi
saluran pernapasan oleh flu (common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri
seperti hemophilus influenzae. Polusi udara oleh gas iritatif asal industri,
asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok juga sangat
merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
5.
Sel Inflamasi
Sel-sel
inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel mast,
limfosit, dan eosinofil.
a) Sel
mast
Sel
ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena ia dapat
melepaskan berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan atau baru
disintesis, yang bertanggung-jawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi.
Berbagai mediator tersebut antara lain adalah histamine (yang disintesis dan
disimpan di dalam granul sel dan dilepas secara cepat ketika sel mast
teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan leukotrien LTC4 (yang baru disintesis
setelah ada aktivasi), dan sitokin (yang disintesis dalam waktu yang lebih
lambat dan berperan dalam reaksi fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen
melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah melekat pada reseptornya
(Fcereceptor) di permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking antara alergen
dengan IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah peristiwa
pecahnya sel mast yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Sel
mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat
berespon terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel
mast pada cairan bronkoalveolar pasien asma mengindasikan bahwa sel ini
terlibat dalam patofisiologi asma. Selain itu, pada pasien asma yang dijumpai
penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan bronkoalveolarnya, yang
diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat telah
dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran
sel mast pada reaksi alergi fase lambat masih belum diketahui secara pasti.
Namun,sel mast juga mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil
dan neutrofil ke saluran nafas.
b)
Limfosit
Peran
limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta, antara lain dengan
terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada biopsy bronchial pasien
asma. Selain itu, sel-sel limfosit juga dijumpai pada cairan bronkoalveolar
pasien asma pada reaksi fase lambat. Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe
yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih terbagi lagi menjadi dua
subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin
prainflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini
nampaknya berfungsi dalam pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4
dan IL-13 misalnya, dia bekerja mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi
IgE, yang nantinya akan menempel pada
sel-sel inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.
c)
Eosinofil
Banyak
hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi terhadap
patofisiologi penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya kaitan yang
erat antara keparahan asma dengan
keberadaan eosinofil di saluran nafas
yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma atau alergi sering
disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein
granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil peroxidase(EPO),
dan eosinophil cationic probasic protein (ECP), yang dapat menyebabkan
kerusakan epitelium saluran nafas, menyebabkan hiperresponsivitas bronkus,
sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil, serta secara langsung menyebabkan
kontraksi otot polos saluran nafas (Bussed an Reed, 1993). Selain itu, beberapa
produk eosinofil seperti LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah
keparahn asma.
6.
Manifestasi Klinis
a) Tanda
Sebelum
muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan
tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki
sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada
individu yang sama, tanda-tanda peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau
sama sekali berbeda pada setiap episode serangan dan tanda peringatan awal yang
paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa
contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan
dalam pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk, gatal-gatal
pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur,
turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan
prestasi dalam penggunaan Preak Flow
Meter.
b) Gejala
(1) Gejala
Asma Umum
Perubahan
saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang jauh
lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal
tersebut dapat memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak
dada, mengi/napas berbunyi (wheezing)
dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua
orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat mengalaminya
dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang
hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah
mengalami kontak dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka
performa penggunaan Preak Flow Meter menunjukkan
rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50% sampai 80%
dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2) Gejala
Asma Berat
Gejala asma
berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk
yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara
dan berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas
menjadi dangkal dan cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk,
lubang hidung mengembang dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di
antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke dalam, bersama tarikan napas,
bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah sekitar mulut
(sianosis), serta angka performa penggunaan Preak
Flow Meter dalam wilayah berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa
terbaik individu).
7.
Komplikasi Asma
Penyakit
asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada
terjadinya komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa
penyakit sebagai berikut yaitu, terjadinya pneumotorak, pneumomediastinum,
emfisema subkutis, aspergilosis, atelektasis, gagal napas, bronkitis, fraktur
iga, dan bronkopulmonar alergik.
8.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan
Laboratorium
(1) Pemeriksaan
Sputum
Adanya badan
kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya reaksi
yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga
terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram
penting untuk melibat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan
uji resistensi terhadap beberapa antibiotik (Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan
Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
(a) Analisa
gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
(b) Kadang
pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
(c) Hiponatremia
dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3) Sel
Eosinofil
Sel eosinofil
pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3 baik
asma intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara
100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis
sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat (Muttaqin, 2008).
b) Pemeriksaan
Penunjang
(1) Pemeriksaan
Radiologi
Gambaran
radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2) Pemeriksaan
Tes Kulit
Dilakukan untuk
mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi
yang positif pada asma.
(3) Scanning
Paru
Dengan scanning
paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4) Spirometer
Alat pengukur
faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5) Peak Flow Meter/PFM
Peak
flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh
karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih
diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. Untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas
besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat
digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan
FEV1.
(6) X-ray
Dada/Thorax
Dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7) Pemeriksaan
IgE
Uji tusuk kulit
(skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis
dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila
hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
(8) Petanda
Inflamasi
Derajat berat
asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian
obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan
inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar
riset.
9.
Web of Caution (WOC) secara Teorits
10.
Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a) Penatalaksanaan
Medis
(1)
Terapi Obat
Penatalaksanaan
medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan asma
dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum
terlalu lama ini, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental
keyakinan di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka
panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
Cara menangani
asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan
zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang
terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk
dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan
ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya
karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini
membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik,
penyebab asma yang mereka derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan
bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata
utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat
disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran pernapasan, yang
aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI
(Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat asma
(Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a)
Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha
pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan
obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara
kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap
pemicu asma yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya
harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya
kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh
obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®]
secara bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara
teratur) akan mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa
(misalnya montelukast) tersedia dalam tablet.
b) Obat-obat
pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega
gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol
xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah
bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan mengendurkan
oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat
berfungsi sebagai pelega seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya
bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam. Obat ini
disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering.
Obat ini tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini
termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini
sama seperti kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol
Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot
yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet
lepas-tunda (extended-reliase).
Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat
menyebabkan stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang
paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin
terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat
pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya
salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang
menyempit yang terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat
pereda/pelega biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna biru atau
abu-abu.
d) Obat-obatan
kortikosteroid oral
Kortikosteroid
oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan yang
mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang
dirasakan.
Malam
hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi
paru-paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil
penelitian terbukti bahwa dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang
hari bisa membantu mereka yang mengalami serangan asma untuk tidur pada malam
harinya.
Di
sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata,
seperti perubahan suasana hati (mood
changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan, dan gejala
demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid
ini tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan
kadangkala saja.
(1) Prednison
(Prednisone)
Prednison
adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon
(Prednisolone)
Prednisolon
adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan
sebagai sirup 15 mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon
(Methylprednisolone)
Sangat
mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di
rumah sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason
(Dexamethasone)
Dengan
merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih
lama dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien
anak-anak yang sulit minum obat.
(2) Alat-alat
hirup
Alat hirup dosis terukur atau
Metered Dose Inhaler (MDI) disebut
juga inhaler atau puffer adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar
obat-obatan ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainnya. Alat ini
menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose)
karena memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap
semprotan.
Sebagai
hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh
segala tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis
terukur memuat obat-obatan dan cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang
mengembang menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan
populernya adalah propelan tersebut
memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus,
dan mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru
pemakainya.
b) Penatalaksanaan
Keperawatan
Penatalaksanaan
keperawatan yang dapat dilakukan pada penderita asma adalah sebagai berikut,
yaitu memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan), pemberian cairan,
fisiotherapy, dan beri O2 bila perlu.
11.
Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
a) Tidak
efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
b) Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme).
c) Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme).
d) Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan/Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Tidak efektifnya bersihan
jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme),
penumpukan sekret, sekret kental
|
Pencapaian bersihan jalan napas dengan kriteria hasil
sebagai berikut:
1. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas
bersih atau jelas.
2. Menunjukan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan
nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
|
Mandiri
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex:
mengi
2. Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio
inspirasi/ekspirasi.
3. Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan obat bantu.
4. Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh: meninggikan
kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu,
asap dll.
6. Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari
sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
Kolaborasi
7. Berikan obat sesuai indikasi bronkodilator.
|
1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas
advertisius.
2. Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3. Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung
pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
4. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
5. Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode
akut.
6. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan
cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
7. Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan
nafas, mengi, dan produksi mukosa.
|
2
|
Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme)
|
Perbaikan pola nafas dengan kriteria hasil sebagai
berikut:
1. Mempertahankan ventilasi adekuat dengan menunjukan
RR:16-20 x/menit dan irama napas teratur.
2. Tidak mengalami sianosis atau tanda hipoksia lain.
3. Pasien dapat melakukan pernafasan dalam.
|
Mandiri
1. Ajarkan pasien pernapasan dalam.
2. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Berikan
posisi semi fowler.
Kolaborasi
3. Berikan oksigen tambahan.
|
1. Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi sehingga
pasien akan bernapas lebih efektif dan efisien.
2. Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan.
3. Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
|
3
|
Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme)
|
Perbaikan pertukaran gas dengan kriteria hasil sebagai
berikut:
1. Perbaikan ventilasi.
2. Perbaikan oksigen jaringan adekuat.
|
Mandiri
1. Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
2. Palpasi fremitus.
3. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi
4. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil
AGDA dan toleransi pasien.
|
1. Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan
sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
2. Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan
cairan/udara.
3. Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah
dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
4. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
|
4
|
Risiko tinggi terhadap
infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas
|
Tidak terjadinya infeksi dengan kriteria hasil sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko infeksi.
2. Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
nyaman.
|
Mandiri
1. Awasi suhu.
2. Diskusikan adekuat kebutuhan nutrisi.
Kolaborasi
3. Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan
untuk pewarnaan gram, kultur/sensitifitas.
|
1. Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
2. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan
menurunkan tahanan terhadap infeksi.
3. Untuk mengidentifikasi organisme penyabab dan
kerentanan terhadap berbagai anti microbial.
|
BAB III
KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. G
DENGAN DIAGNOSA ASMA BRONKHIAL
DI RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN AHMAD
A.
Uraian
Kasus
Nn. G 23 tahun
suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan semakin
meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil pengkajian
klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien
merasa sesaknya berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan
mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah
satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada simetris, retraksi dinding dada
(+), taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas klien
terdengar wheezing, resonan pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna
putih kental. Dari hasil observasi didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos
mentis, dan hasil TTV: TD = 130/70 mmHg, RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu =
37o C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb =
15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax,
didapatkan hasil paru dalam batas normal.
B.
Pengkajian
1.
Anamnesa
·
Identitas Klien
Nama : Nn. G
Umur : 23 tahun
·
Alasan Masuk (Keluhan Utama)
Klien masuk
rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan semakin
meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.
·
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat
asma sejak kelas 6 SD
·
Riwayat penyakit Sekarang
Klien mengeluh sesak, batuk
berdahak dengan dahak berwarna putih.
·
Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa ada salah
satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu ibunya.
2.
Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat
Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1) BP
: 130/70 mmHg
(2) RR:
36 x/menit
(3) HR:
76 x/menit
(4) T : 37oC
c) Hasil
pengkajian:
· Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi
dinding dada (+), dan sputum berwarna putih kental.
· Palpasi
Taktil fremitus simetris antara
kiri dan kanan.
· Perkusi
Resonan
dikedua lapang paru.
· Auskultasi
Suara
napas klien terdengar wheezing.
3.
Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
·
Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam
batas normal.
·
Pemeriksaan laboratorium
- Hb
= 15,5 gr%
- Leukosit
= 17.000/mm3
- Trombosit
260.000/mm3
- Ht
= 47vol%.
4.
Terapi Pengobatan Saat Ini
IVFD
RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul
2 L.
C.
Analisa
Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
1
|
DS:
1. Klien
mengatakan batuk
berdahak dengan dahak berwarna putih.
2. Klien merasa sesak.
DO:
1. Tanda-tanda
vital:
BP=130/70 mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak
nafas disertai batuk berdahak, berwarna putih agak kental.
3.
Suara
napas klien terdengar wheezing.
4.
Terapi
yang diberikan: oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon.
|
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
↑ permeabilitas kapiler
↓
Kontraksi
otot polos
Edema
mukosa
Hipersekresi
↓
Obstruksi jalan nafas
↓
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
|
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
|
2
|
DS:
1.
Klien
merasa sesak
DO:
1.
Tanda-tanda vital:
BP=130/70 mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak
nafas disertai batuk berdahak, berwarna putih agak kental.
3. Suara napas klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang diberikan: oksigen
2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon.
|
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
Kontraksi otot polos
↓
Bronkospasme
↓
Suplai
O2 menurun
↓
Merangsang
kemoreseptor sentral (spons dan medulla oblongata)
↓
Hiperventilasi
↓
Sesak
↓
Pola nafas tidak efektif
|
Pola nafas
tidak efektif
|
D. Web of Caution (WOC)
E.
Asuhan
Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan/Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Tidak
efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
|
Pencapaian bersihan jalan napas dengan kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas
bersih atau jelas.
2.
Menunjukan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan
nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
|
Mandiri
1.
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex:
mengi
2.
Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio
inspirasi/ekspirasi.
3.
Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan obat bantu.
4.
Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh:
meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur.
5.
Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu,
asap dll.
6.
Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari
sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
Kolaborasi
7.
Berikan obat sesuai indikasi bronkodilator.
|
1.
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas
advertisius.
2.
Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3.
Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung
pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
4.
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
5.
Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode
akut.
6.
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan
cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
7.
Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan
nafas, mengi, dan produksi mukosa.
|
2
|
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan suplai
oksigen berkurang (bronkospasme)
|
Perbaikan pola nafas dengan kriteria hasil sebagai
berikut:
1.
Mempertahankan ventilasi adekuat dengan menunjukan
RR=16-20 x/menit dan irama napas teratur.
2.
Tidak mengalami sianosis atau tanda hipoksia lain.
3.
Pasien dapat melakukan pernafasan dalam.
|
Mandiri
1.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Berikan
posisi semi fowler.
2.
Ajarkan pasien pernapasan dalam.
Kolaborasi
3.
Berikan oksigen tambahan.
|
1.
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan.
2.
Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi sehingga
pasien akan bernapas lebih efektif dan efisien.
3. Memaksimalkan
bernapas dan menurunkan kerja napas
|
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non
Farmakologi
1.
Penatalaksanan Farmakologi
Belum terlalu
lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di
kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa
menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru. Cara menangani
asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan
zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang
terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk
dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan
ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko
kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini
membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik,
penyebab asma yang mereka derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan
bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata
utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat
disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran pernapasan, yang
aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI
(Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat asma
(Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a)
Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha
pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan
obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara
kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap
pemicu asma yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya
harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya
kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti
peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®]
secara bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara
teratur) akan mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa
(misalnya montelukast) tersedia dalam tablet.
b)
Obat-obat pelega gejala berjangka
panjang
Obat-obat pelega
gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol
xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah
bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan mengendurkan
oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat
berfungsi sebagai pelega seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya
bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam. Obat ini
disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering.
Obat ini tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini
termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini
sama seperti kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol
Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot
yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet
lepas-tunda (extended-reliase).
Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat
menyebabkan stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang
paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin
terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c)
Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya
salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang
menyempit yang terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat
pereda/pelega biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna biru atau
abu-abu.
d)
Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid
oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan yang
mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang
dirasakan.
Malam hari
termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi
paru-paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil
penelitian terbukti bahwa dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang
hari bisa membantu mereka yang mengalami serangan asma untuk tidur pada malam
harinya.
Di sisi lain,
efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti perubahan
suasana hati (mood changes),
meningkatnya selera makan, perubahan berat badan, dan gejala demam yang
ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini tidak
perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala
saja.
(1)
Prednison (Prednisone)
Prednison adalah
preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini disajikan
dalam bentuk pil maupun sirup.
(2)
Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon
adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan
sebagai sirup 15 mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3)
Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip
dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4)
Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek
Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak
yang sulit minum obat.
e)
Alat-alat hirup
Alat
hirup dosis terukur atau Metered
Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler
atau puffer adalah alat yang
paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan atau
paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena memang menghantar
suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil
teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur
memuat obat-obatan dan cairan tekan (pressurized
liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang menjadi gas
ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan tersebut memecah obat-obatan
yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan mendorongnya
keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
f) Peak Flow Meter
Alat
ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program pengendalian
asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan asma. Berpegang
pada prinsip bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan baik harus ada
tolok ukurnya, maka orangtua anak penderita asma, maupun anak-anak dan orang
dewasa penderita asma sendiri harus menguasai cara mengukur fungsi paru-paru
mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah mengambil langkah yang sesuai
dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah,
termasuk oleh anak-anak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan
embusan napas pemakainya. Ada tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas
seseorang, yaitu ukuran paru-parunya, besar usahanya dalam mengembus; dan
bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya. Untuk menggunakannya, si
pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin, kemudian meniup
ke dalam Peak Flow Meter secepatnya
dengan sekuat-kuatnya. Seseorang yang saluran pernapasannya menyempit, tidak
akan bisa meniup sekuat bila saluran pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda
pertama dari datangnya serangan asma bisanya terlihat dari menurunnya ukuran
catatan Peak Flow Meter seseorang.
Ini bahkan sebelum muncul gejala-gejala yang lain seperti batuk, lendir yang
berlebihan, atau sesak napas.
Untuk
mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita membandingkan
hasil pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari orang tersebut.
Untuk memperoleh patokan terbaik seseorang, lakukan pengukuran dengan Peak Flow Meter pada waktu orang
tersebut berada dalam kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat
hasilnya.
Kondisi
asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada dalam
rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-80% dari
kondisi terbaik ia memasuki zona kuning, yang berarti harus waspada karena
terlihat tanda-tanda akan datangnya serangan asma. Pengukuran di bawah 60%
kondisi terbaik memasuki zona merah, berarti bahaya, dan orang yang
bersangkutan harus segera ke dokter untuk menghindari keharusan dirawat di UGD.
2.
Penatalaksanan Non Farmakologi
Penatalaksanaan
secara non farmakologi dapat memanfaatkan tanaman-tanaman herbal dalam
penyembuhan berbagai penyakit pasien. Pengobatan yang menggunakan tanaman
herbal sebagai medianya biasa disebut sebagai pengobatan secara tradisional
atau pengobatan menggunakan ramuan herbal. Berikut ini beberapa ramuan herbal
yang dapat dimanfaatkan dalam penanganan asma, yaitu:
a) Resep
1
15 g kulit jeruk mandarin kering
(1) Cuci
bersih semua bahan, iris-iris, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc,
lalu saring.
(2) Minum
selagi hangat.
(3) Lakukan
secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
b) Resep
2
5 g
adas
5 batang serai
20 jari kayu
manis
20 g jahe merah
30 g pegagan
segar (15 g keringi)
Gula aren secukupnya
(1)
Cuci bersih semua bahan, rebus dengan
600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2)
Minum selagi hangat.
(3)
Lakukan secara teratur 2 kali sehari
(Wijayakusuma, 2008).
c) Resep
3
3 g bunga melati kering (10 g segar)
6 lembar
daun jinten
(1) Cuci
bersih, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2) Minum
selagi hangat.
(3) Lakukan
secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
d) Resep
4
200 g lobak putih
3 siung bawang putih
30
kencur
(1) Cuci
bersih semua bahan, lalu jus atau blender dan saring.
(2) Panaskan
airnya dengan api kecil hingga mendidih. Minum hangat-hangat.
(3) Lakukan
secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
e) Resep
5 (pemakaian luar)
Jahe secukupnya,
iris dengan ketebalan 3-5 mm
(1) Tempelkan
jahe dengan menggunakan koyo hangat pada titik dazhui, yaitu ruas tulang paling
menonjol yang terletak antara ruas tulang belakang leher ketujuh dan ruas
tulang belakang dada yang pertama.
(2) Lakukan
secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
f)
Resep 6
·
6 buah biji cermai merah
·
8 butir buah lengkeng
·
4 potong akar kara
·
8 butir bawang merah
(1) Ditumbuk
semua bahan dan direbus dengan 2 gelas air hingga satu setengah gelas.
(2) Diminum
satu hari 2 kali minum (Widjadja, 2009).
Selain
mengunakan ramuan herbal kita juga bisa menggunakan terapi. Salah satu terapi
yang dapat dilakukan adalah terapi pijat (Hartanti, 2003).
G.
Health
Education (Pendidikan Kesehatan)
Pendidikan bagi
pasien adalah suatu bagian yang penting dalam usaha meningkatkan cara
penanganan asma. Dasar pemikirannya, asma adalah suatu penyakit biasa yang bisa
dikendalikan. Namun, asma juga penyakit yang bersifat Variabel, dalam arti
gejala-gejalanya bisa membaik dan memburuk dari waktu ke waktu. Karena
variabilitas ini, sering penanganannya harus ditinjau ulang dan diubah. Untuk itu
dibutuhkan komunikasi yang efektif antara sang pasien dengan dokternya
(Hadibroto & Alam, 2006). Dalam hal ini sebaiknya sang pasien mempunyai
referensi atau pengetahuan tentang:
1.
Apakah asma itu, beserta faktor-faktor
pemicunya, terutama yang menyangkut dirinya sendiri.
2.
Seluk beluk pengobatan asma, dan
kemungkinan akibat sampingan dari masing-masing obat.
3.
Cara menggunakan alat-alat pengobatan
asma secara benar.
4.
Tujuan pengobatan dan penatalaksanaan.
5.
Pengenalan tanda-tanda dan gejala awal
datangnya serangan.
6.
Penulisan rencana tindakan (Action Plan).
Rencana tindakan adalah suatu rencana
mengatasi kondisi asma yang memburuk, dan rencana ini harus dimiliki oleh
setiap penderita asma. Rencana tindakan menyesuaikan dengan tingakat keparahan
gejala, sehingga si penderita punya pegangan dalam usaha mengendalikan asmanya
(Hadibroto & Alam, 2006). Lengkapnya rencana ini bisa:
a) Memberi
pengarahan kapan waktunya untuk mengubah, meningkatkan atau mengurangi, dan
menambah obat-obatan yang digunakan.
b) Memberitahukan
apa yang harus dilakukan, juka kondisi sang pasien tidak membaik.
c)
Memberikan kesempaatan bagi penderita
asma untuk segera dan lebih awal memulai penanganan, menghadapi gejala asma
yang memburuk, untuk mencegah serangan yang lebih gawat.
Memberi
arahan akan kapan dan bagaimana usaha mengurangi penggunaan obat-obatan hingga
dosis seminimal mungkin, begitu asma sudah terkendali.
7.
Pengisian Buku Harian asma.
Buku
harian asma adalah sarana yang sangat penting untuk mencatat gejala-gejala
asma, obat-obatan yang digunakan, dan catatan prestasi Peak Flow Meter. Jika gejala-gejala semuanya tercatat, sang pasien
akan lebih sadar akan perubahan-perubahan yang mengindikasikan bahwa asmanya
mulai lepas kendali. Dengan demikian ia bisa menyesuaikan pengobatannya
berdasarkan Rencana Tindakan. Buku Harian asma digunakan bersama dengan Rencana
Tindakan, yang disiapkan di bawah pengawasan dan persetujuan dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat
Bull, Eleanor
& David Price. (2007). Simple Guide
Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hadibroto, Iwan
& Syamsir Alam. (2006). Asma.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal dan Pijat.
Jakarta: Pustaka Anggrek
Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Mansjoer, Arif
dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Widjadja, Rafelina. (2009). Penyakit Kronis: Tindakan, Pencegahan, & Pengobatan secara Medis
maupun Tradisional. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Wijayakusuma, Hembing. (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit.
Jakarta: Pustaka Bunda.
Description: ASKEP ASMA BRONKIAL
Rating: 4.5
Reviewer: riz liz
ItemReviewed: ASKEP ASMA BRONKIAL
Rating: 4.5
Reviewer: riz liz
ItemReviewed: ASKEP ASMA BRONKIAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar